Korban FOMO atau Cerdas Berbelanja? Menelusuri Lipstick Effect
Korban FOMO merujuk pada perasaan cemas yang dialami seseorang karena takut kehilangan pengalaman yang bermanfaat.
Dalam kondisi seperti ini, “lipstick effect” muncul sebagai respons yang menarik. Lipstick effect adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kecenderungan pembeli, terutama pada wanita, untuk mengeluarkan uang untuk barang-barang kecil yang bersifat mewah, seperti lipstik, ketika keadaan ekonomi sulit. FOMO PLUS INDONESIA akan menelusuri hubungan antara FOMO dan lipstick effect, serta mengkaji apakah perilaku ini mencerminkan kecerdasan dalam berbelanja ataukah hanya sekadar reaksi terhadap tekanan sosial.
FOMO: Apa Itu dan Dampaknya
Pertama kali diungkapkan dalam konteks media sosial pada tahun 2004. Istilah ini menggambarkan persepsi bahwa orang lain mungkin mengalami pengalaman yang lebih baik atau lebih memuaskan yang kita tidak turut rasakan.
Perasaan ini seringkali disertai dengan perilaku kompulsif untuk tetap terhubung dengan orang lain melalui media sosial untuk memastikan kita tidak ketinggalan berita atau acara yang menarik.
FOMO dapat menyebabkan sejumlah masalah psikologis, termasuk kecemasan, depresi, dan rasa rendah diri. Dalam konteks ini, individu menjadi terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang merugikan, di mana mereka terus-menerus membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain berdasarkan apa yang mereka lihat di platform sosial.
Salah satu dampak signifikan dari FOMO adalah perilakunya yang dapat mendorong individu untuk melakukan pembelian impulsif. Dengan semakin banyaknya pilihan yang ditawarkan oleh pasar, tekanan untuk berpartisipasi dalam tren terbaru atau membeli barang-barang yang dianggap penting untuk status sosial dapat menyebabkan pengeluaran yang tidak terencana dan berlebihan.
Dalam beberapa kasus, ini dapat mengarah pada perilaku boros yang merugikan kondisi keuangan individu. FOMO berfungsi sebagai pemicu emosi yang membuat orang berusaha keras untuk meraih pengalaman yang tampaknya lebih baik daripada yang mereka jalani saat ini.
Fenomena Lipstick Effect
Lipstick effect, yang pertama kali diobservasi oleh Leonard Lauder, ketua Estée Lauder, menunjukkan bahwa ketika ekonomi sedang lesu, penjualan produk kecil namun mewah seperti lipstik malah mengalami lonjakan.
Lauder mencatat peningkatan penjualan lipstik setelah serangan teroris 9/11 dan juga selama resesi 2008. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen, terutama wanita, cenderung mencari penghiburan dalam pembelian kecil ketika mereka merasa tertekan secara finansial.
Lipstick effect seolah memberikan jalan bagi konsumen untuk menikmati kenikmatan kecil tanpa harus berinvestasi. Dalam barang-barang mahal yang mungkin tidak dapat mereka beli saat keadaan keuangan mereka terganggu.
Penelitian menunjukkan bahwa saat menghadapi kondisi ekonomi yang tidak pasti, wanita lebih mungkin mengeluarkan uang. Untuk barang-barang yang memberikan dorongan emosional, seperti kosmetik, daripada barang-barang mahal seperti pakaian atau perhiasan.
Hubungan Antara FOMO dan Lipstick Effect
Korban FOMO dan lipstick effect tidak bisa dipisahkan begitu saja keduanya saling mempengaruhi dalam konteks perilaku konsumen. Ketika seseorang mengalami FOMO, mereka mungkin merasa tertinggal dan berusaha “menutup kekurangan” tersebut dengan membeli barang-barang yang dapat menaikkan mood mereka.
Di sinilah lipstick effect berperan produk kecil seperti lipstik menjadi solusi yang memungkinkan mereka merasakan kepuasan dan rasa nilai diri di tengah ketidakpastian.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh penggunaan media sosial, di mana influencer dan iklan menampilkan gaya hidup glamor yang seringkali tidak realistis.
Ketika individu melihat orang lain menunjukkan tren terbaru atau barang-barang yang mereka beli, dorongan untuk turut serta dalam pengalaman tersebut menjadi lebih kuat. FOMO mendorong mereka untuk membeli produk tidak hanya untuk kepuasan pribadi, tetapi juga untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Baca Juga: Durasi Olahraga yang Tepat untuk Kesehatan, Jangan Sekadar FOMO!
Dampak Sosial dan Budaya
Budaya konsumerisme modern memberikan kontribusi besar terhadap penguatan FOMO dan lipstick effect. Dengan munculnya platform media sosial dan keterhubungan digital, orang-orang merasa semakin tertekan untuk selalu tampil baik. Mereka ingin terlihat mengikuti tren, dan ini sering kali mendorong mereka untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak benar-benar mereka butuhkan.
Selain itu, budaya perbandingan sosial mengintensifkan perasaan ketidakcukupan. Ketika melihat teman-teman atau influencer yang menikmati pengalaman tertentu, individu mungkin merasa tertekan. Untuk membeli produk yang sama agar tidak ketinggalan hal ini menciptakan siklus di mana pembelian tidak lagi didasarkan pada kebutuhan. Tetapi lebih pada keinginan untuk terlihat dan terasa lebih baik di mata orang lain.
Kecerdasan Berbelanja Korban FOMO
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah mereka yang terlibat dalam lipstick effect benar-benar menjadi korban FOMO. Ataukah mereka hanya cerdas dalam berbelanja? dalam banyak kasus, pembelian barang-barang kecil yang mewah bisa dilihat sebagai cara untuk memberikan renungan positif kepada diri sendiri di tengah stres.
Di saat konsumen merasa kehilangan kendali atas aspek lain dalam hidup mereka, memberikan sedikit kebahagiaan melalui pembelian bisa dianggap sebagai tindakan yang cerdas.
Namun, tidak selamanya pembelian ini sehat. Ketika perilaku belanja dipandu oleh rasa takut kehilangan atau tekanan sosial, itu bisa menjadi masalah.
Seiring berjalannya waktu, seseorang yang terus-menerus merasa perlu membeli barang-barang kecil dengan cara yang impulsif dapat merusak kebiasaan keuangan mereka.
Berbagai studi menunjukkan bahwa meskipun lipstick effect memberikan penghiburan sementara, dalam jangka panjang. Kebiasaan belanja yang tidak terencana dapat menyebabkan masalah keuangan yang lebih serius.
Menavigasi Kesehatan Mental dan Keuangan
Adalah penting untuk memahami bagaimana FOMO dan lipstick effect dapat dikelola dan dinavigasi dengan bijaksana. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menyadari perilaku berbelanja kita.
Memiliki kesadaran diri mengenai dorongan untuk membeli barang-barang kecil di tengah stres dapat membantu individu membuat keputusan yang lebih cerdas. Selain itu, pengaturan anggaran belanja dapat memberikan kerangka kerja untuk konsumen agar tetap bertanggung jawab dalam pengeluaran mereka.
Konsumen dapat menggunakan pendekatan seperti membuat “treat yourself” fund. Dengan mengalokasikan sejumlah uang untuk belanja kecil yang bisa memberikan hiburan tanpa merusak anggaran keseluruhan. Anda dapat menikmati keinginan untuk berbelanja tanpa rasa bersalah.
Selanjutnya, menanyakan “mengapa” sebelum melakukan pembelian juga bisa membantu. Apakah Anda benar-benar membutuhkan barang itu, ataukah Anda hanya ingin merasa lebih baik karena melihat orang lain memiliki hal yang sama? Ini bisa membuka wawasan tentang kebutuhan emosional yang seharusnya dipenuhi dengan cara lain.
Kesimpulan
Di era modern yang dikuasai oleh media sosial dan konsumerisme, fenomena FOMO dan lipstick effect semakin mendominasi perilaku konsumen.
Rasa takut kehilangan yang dihasilkan dari perbandingan sosial dapat memicu pembelian impulsif. Di mana barang-barang kecil menjadi jalan keluar untuk mengatasi ketidakpastian ekonomi.
Meskipun membeli lipstik atau produk kecil lainnya memberikan kebahagiaan sesaat, penting untuk mengenali batasan. Dan melirik ke arah yang lebih sehat dalam berbelanja.
Dengan keterampilan dan kesadaran yang tepat, konsumen dapat menjadi cerdas dalam berbelanja, menikmati kenyamanan barang-barang kecil tanpa terbebani oleh FOMO.
Memahami kebutuhan emosional kita dan mengelola keuangan dengan bijaksana dapat membantu kita menghindari jebakan yang sering mengintai dalam kebiasaan belanja kita.
Dengan demikian, kita tidak hanya terhindar dari perangkap FOMO, tetapi juga dapat merayakan momen kecil kehidupan dengan lebih bermakna. Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi informasi viral terupdate lainnya hanya di KEPPOO INDONESIA.